JAKARTA - Penghinaan terhadap Kepala Negara atau Presiden dan/atau Wakil Presiden disahkan dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) melalui rapat paripurna DPR dan Pemerintah, pada Selasa ( 06/12/22) di Gedung Nusantara, Jakarta.
Dalam hal ini, Ketua DPD Mahasiswa Pancasila (Mapancas) kembali mengkritik atas pengesahaan RKUHP Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden oleh DPRD dan Pemerintah.
Menurut, Ketua DPD Mapancas Sumsel, Andir Firliansyah, pasal tersebut menimbulkan kegamangan atas ketentuan yang sebelumnya pernah dicabut melalui proses negative legislasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 22/PUU-IV/2006.
" Tindak pidana penyerangan martabat Presiden dan Wakil Presiden yang disahkan oleh DPRD akan menimbulkan ketidak jelasan dalam berdemokrasi, Pasal ini menunjukan bahwasanya Pemimpin negara tidak mau di kritik oleh masyarakat, kita ketahui pada tahun 2006 MK sudah mencabut pasal tersebut dan tidak sedikit para aktivis menolak pasal tersebut, namun secara diam-diam DPR dan Pemerintah mengesahkanya", ungkap Andir kepada Wartawan Jabar Indonesia satu grup, Selasa ( 06/12/22).
Pasal penyerangan martabat Presiden dan Wakil Presiden pun tidak dijelaskan secara rinci kepada publik, hal tersebut tentunya akan menimbulkan resepsi negatif dan kegaduhan ditengah masyarakat yang saat ini sudah melek demokrasi.
" Pasal ini akan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, kita ketahui Presiden merupakan simbol negara yang patut kita jaga dan hormati, namum masyarakat memiliki kewenangan yang begitu besar dalam mengawal demokrasi, dengan adanya pasal ini, masyarakat menjadi was was dalam menyuarakan aspirasi untuk kepentingan umum", imbuhnya
Dalam pasal 217 KUHP terbaru menuliskan setiap orang yang menyerang diri presiden dan wakil presiden yang tidak masuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara.
Disambung dalam pasal 218 ayat 1 , menuliskan, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan Presiden dan Wakil Presiden di pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sementara ayat 2 dalam pasal ini menuliskan, tidak merupakan penyerangan terhormatan dan martabat sebagaimana dimaksud ayat 1 (satu), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Selanjutnya, Pasal 219 melarang setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV
Pasal 220 ayat (1) mengatur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
Baca juga:
Kembalikan Bogor Sebagai Dayeuh Para Ulama
|
Pasal 220 ayat (2) mengatur bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Artinya delik penghinaan presiden/ wakil presiden merupakan delik aduan dan harus ada laporan tertulis dari presiden/wakil presiden. ** (fri)